KEMAMPUAN MANUSIA TIDAK AKAN
SEMPURNA
Peribahasa Madura berbunyi
(jreppen tak mampu e teop dibik) suatu arti kemampua seseorang terbatas
seberapa besar kemampuan yang dimiliki dan seberapa banyak harta yang
dikumpulkan,tentu tidak akan sampai pada titik kesempurnaan.
Manusia tercipta serba kekurangan
dari kekurangan itu muncullah suatu pemikiran untuk berusaha merubah keadaan, seseorang
terkadang larut dalam masalah tanpa ada upaya rekonstruksi pemikiran yang
handal untuk di adopsi dimasa kini agar keadaan semakin membaik.
Seseorang terkadang senang
memnghujani cemoohan pada tanah pendirian yang tandus tenpa memikirkan dampak
setelahnya, walaupun basah dan hancur gumpalan itu namun tak beraturan, bukan
tambah membaik melainkan tambah runyam dan sulit untuk di artikan.
Sebongkah batu yang berdiri tegak
dibawah tetesan air dengan sendirinya membuka celah dan berlobang, hal itu
bukan derasnya air yang menites namun kontiniuitas usaha yang menjadi tolok
ukur.
“Besarnya
Tekanan Tidak Akan Memunculkan Keseimbangan,,,
Keluhan terhadap manusia
seringkali terlalu dibanggakan sebab masih ada tuhan yang selalu setia menerima
keluh kesah hambanya “ kalau mikirin itu maah, ya sudah selesai urusannya
ngapain kita cape-cape menganalisa keadaan” kata orang yang pendek
pemikirannya.
Kejadian tersebut perlu adanya
tindak lanjut langkah apa bagi manusia itu sendiri untuk merubah suatu keadaan,
adakah solusi jitu bagi seseorang yang tidak lagi menemukan suatu titik terang
untuk bertindak, adakah cara untuk merealisasikan suatu tuntutan dan mampukah
melaksanakannya?
Dalam suatu turats dinyatakan
“apabila engkau melihat suatu kemungkaran maka rubalah dengan taganmu, apabila
tidak mampu, rubahlah dengan lisan apabila tidak mampu , rubahlah dengan doa
namun hal itu paling lemahnya iman”
Seseorang melihat suatu tatanan
tidak cukup dengan umpatan, tidak cukup dengan kritikan bahkan hasutan, namun
seberapa besar sumbangsih pemikiran yang dapat di adopsi upaya realisasi yang
segnifikan dalam perubahan sistem yang lebih baik dan bermartabat.
Sejarah mengajarkan manusia agar
bijak dalam bertindak apabila cara perubuhan terdapat kesalahan dan merugikan
tak perlu terulang kembali, namun apabila cara itu baik sebaiknya di adopsi dan
dikembangkan sesui dengan kebutuhan dan kemampuan masa kini.
Banyak tokoh sejarah nusantara
upaya untuk merubah suatu system mewakili bangsa yang terisolir hak-haknya,
bahkan cara sparatis yang diluncurkan, semacam itu yang diperjuangkan dan yang
dituntut jelas sasarannya sesuai dengan fakta dan bukti nyata.
Bangsa yang di tindas oleh pemerintah
Hindia Belanda telah merugikan pendapatan hasil bumi di setiap daerah. tanaman,
sawah dan perkebunan yang merupakan haknya di rampas di ambil paksa oleh tangan
tak bertanggung jawab, Hal tersebut bukti rakyat kecil yang bekerja, menanam
namun rakyat semakin sengsara.
di era milenial ini setelah
seseorang tahu kebobrokan tatanan bangsa tidak seharuanya menjastifikasi sepihak, seyogjianya
seseorang menilai suatu system yang tidak sesuai dengan lingkungan yang ada
lantas apakah hanya berdiam saja ataukah mencemooh, menghasut, mengompat bahkan
menggunjing,?
Sudah bukan zamannya adu argument saling membenarkan
pendapat diri dan menjastifikasi namun yang menjadi korban rakyat kecil yang
tidak tahu apa-apa, bahkan merugikan diri sendiri.
“tidak ada asap kalau tidak ada
api ” kehidupan manusia tidak akan lepas dari hukum kausalitas disanalah
berlakunya membaca diri sebab seringkali apa yang yang kelihatan belum tentu telah di rasakan.
Hemat penulis negara ini adalah
Negara hukum jika ada suatu lembaga pemerintahan terdapat oknum seharusnya diringkus dan
diserahkan kepada pihak-pihak yang berwajib sesuai sanksi perundang undangan.